Rabu, 07 Desember 2011

POLA KEPEMIMPINAN YANG SENTRALISTIK


POLA KEPEMIMPINAN YANG SENTRALISTIK
DAN MENEJEMEN YANG TERTUTUP
PADA GEREJA MODERN

1.    Latar Belakang.
Entah siapa yang memulai dan mengesahkan, seakan-akan telah mengakar dan menjadi suatu tradisi yang tidak dapat di elakan bahkan seakan telah mendarah daging pada setiap gereja yang mewarisi situasi dan keadaan ini. Entah itu suatu denominasi besar atau denominasi yang masih dalam tarap perintisan, pokonya dalam lingkungan denominasi / aliran gereja tertentu ini sangatlah kental dan melekat seakan-akan menjadikan kebiasaan yang sepertinya diwarisi dan dilestarikan untuk terus dijalankan.
 Semoga menjadi bahan pemikiran dan perenungan dan bahkan menjadikan pergumulan dalam Doa, agar kiranya para Hamba-hamba Tuhan yang notabene adalah golongan generasi muda pada gereja-gereja tertentu ini, akan menyadari bahwa pelayanan pekerjaan Tuhan Yesus Kristus yang ada di muka bumi ini bukanlah perusahaan yang sifatnya harus di kelola oleh keluarga kerajaan yang sifatnya keturunan dan harus di teruskan oleh keturunan berikutnya. Sehingga cara-cara yang “Sentralistik” yang kekuasaanya hanya terpusat kepada satu keturunan dan juga dapat di kembangkan pola-pola ; Administrasi, Keuangan, dan hal-hal yang lain kaitannya dengan urusan gereja dan diperdayakan secara demokratis dan transparan terbuka dan jujur, demi kemajuan pekerjaan Tuhan Yesus di dalam Dunia ini. Semoga harapan penulis akan perubahan dan pembaharuan dari cara-cara lama yang condong dapat “Mengkultus Individukan”  seseorang akan dapat diminimalis dan akan semakin terbuka akan kepemimpinan yang sentral, juga adanya keterbukaan akan menejemen Administrasi, keuangan dan hal-hal lain denga cara yang lebih terbuka dan jujur.
Dalam Firman Tuhan dikatakan dalam, Surat Roma 7:6b. .. sehingga kita sekarang melayani dalam keadaan baru menurut Roh dan bukan dalam keadaan lama menurut huruf hukum Taurat.[1] Pada ayat diatas telah dengan jelas pada kita bahwa pelayanan harus memiliki dasar yang kuat dan benar, bahwa pola pelayanan baru tidak harus semuanya benar demikian juga pola pelayanan yang lama belum tentu salah, namun bagaimana kita harus dasari cara pelayanan yang sesuai Sabda Allah yang menjadi tolok ukur dalam setiap pekerjaan Tuhan yang di berikan tanggung jawab pada setiap Hamba-hamba-Nya.



2.    POLA KEPEMIMPINAN  SENTRALISTIK.

Entah dimulai dari Tahun berapa  cara-cara pemimpin gereja Pentakosta dengan menggunakan model kepemimpinan sentral/terpusat pada satu figur pimpinan pusat atau gembala sidang jemaat. Hal ini berkembang dimungkinkan karena adanya kondisi yang ada pada saat pertama pekabaran Injil yang disampaikan oleh kedua keluarga yaitu Richard Van Klaveren dan Istri ; Cornelius E. Croesbeek dengan Istri beserta 2 putrinya, Yennie dan Corri.[2]  Kedua keluarga yang berkewarga negaraan Belanda, namun berdomisili di Seatle Amerika ini merupakan utusan Injil dari gereja Bethel Temple Meting di tepi Green Lake Seatle. Dikarenakan yang menyampaikan misi adalah perseorangan dan bukan merupakan Badan Misi atau organisasi Misi, maka perkembangan pelayanan ini cenderung mengidolakan figur pribadi Penginjilnya secara pribadi, dan bahkan condong mengkultus individukan lebih dari pada pahlawan-pahlawan iman yang tertulis dalam Alkitab. Inilah munkin yang menjadi latar belakang terjadinya setralistik kepemimpinan pada gereja-gereja Pentakosta dan Karismatik pada umumnya, dan masih terus di pertahankan sampai sekarang ini. Bahkan mungkin telah menjadi suatu ketetapan yang di ikuti oleh banyak gereja yang beraliran ini, apalagi dalam Anggaran Dasar / Rumah Tangga GPdI pada BAB-IV (Keanggotaan Gereja)  Pasal 13 Ayat 1 Alia c, menyatakan  bahwa untuk menjadi anggota gereja pada salah satu gereja Pantekosta di Indonesia adalah “mereka yang mendaftar pada Gembala Sidang”.[3] Inilah barangkali yang diterapkan oleh pemimpin-pemimpin gereja maupun majelis gereja bahkan menjadi pemahaman umat pantekosta, yaitu menjadikan pemimpin gereja lokal ataupun organisasi Sinode menjadi segala-galanya. Hal inilah  merupakan kelemahan yang kurang disadari oleh gereja kami, sehingga amat penting segera di benahi dengan segera, agar tidak menjadi perkembangan gereja yang menganut dogtrin pantekosta atau karismatik.
Marilah kita sebagai pemimpin umat, semakin terbukan dan transparan dalam segala lini pelayanan kita dan tidak tersentral dan condong otoriter dalam pola kepemimpinan kita, sehingga pemimpin dapat dengan cepat mengetahui kelemahan dan kekurangan model kepemimpinan kita, sehingga tercapai pola kepimpinan yang demokratis, terbuka dan jujur, demi kemajuan pelayanan Pekerjaan Tuhan Yesus Kristus di Dunia ini.



3.    MENEJEMEN YANG TERTUTUP.

Sekali lagi inilah gaya dan pengaruh kepemimpinan yang sentralistik, berdampak juga pada pola menejemen yang tertutup, terutama pada hal-hal keuangan dan administrasi terkait lainnya. Sehingga hal ini cukup besar andilnya mempengaruhi terjadinya model menejemen yang carut-marut, bahkan terkesan tidak tertangani secara profisional pada gereja yang menganut aliran pentakosta dan karismatik terutama di Indonesia. Bahkan adanya kesenjangan kemampuan secara “Finansial” pada gereja-gereja lokal tertentu sangatlah mencolok, bahkan berakibat fatal terjadi persengketaan dan bahkan perpecahan akan sangat mungkin terjadi, baik pada gereja  tingkatan lokal maupun dapat mengerucut sampai pada tataran pimpinan sinode gereja. Hal ini nyata terjadi, perpecahan pada gereja kami GPdI yang terpecah menjadi berbagai-bagai aliran baru. Demikian perkembangan aliran Pantekosta masuk pada Negara Indonesia ini, terjadi pemisahan-pemisahan yang di mungkinkan akibat pengaruh menejemen yang tidak terbuka atau transparan, sehingga kurun waktu Tahun 1931 samapai Tahun 1966, aliran pantekosta ini terpecah-pecah menjadi sekian aliran baru, diantaranya ; di awali dari Gereja Gerakan Pantekosta, Gerakan Pantekosta Sumatra Utara, Gereja Isa Almasih (Pdt.Tan Hok Tjwan) Th.1957, Gereja Bethel Injil Sepenuh (Pdt. F.G van Gessel) Th.1952, Gereja Pantekosta Pusat Surabaya-GPPS (Pdt.Isak Lew) Th.1959, Gereja Pantekosta Indonesia Sumatra Utara (Pdt.Karel Sianturi) Th.1966.[4] Persoalan-persoalan yang timbul pada masalah perpecahan ini kebanyakan di akibatkan tidak transparansi menejemen kepemimpinan dan keuangan gereja, hal yang sama ini terus berlangsung bahkan sampai sekarang ini, sehingga tidak kalah rumitnya untuk dapat di atasi, seperti yang terjadi saat pioner-pioner gereja pantekosta ini memimpin. Mereka berpedoman bahwa kepemimpinan gereja harus seutuhnya apa yang di katakan Alkitab, tidak boleh ada “campur tangan cara-cara dunia”, entah apa yang di maksud dengan cara dunia’ mungkin adalah pola menejerial atau metode kepemimpinan yang seutuhnya yang di tulis dalam Alkitab, secara pribadi saya sebagai penulis makalah ini “Tidak setuju”, sebab Tuhan memberi Firman-Nya, namun kita sebagai Hamba-hamba Tuhan dan Pemimpin Umat kita juga diberikan Hikmat dan Karunia yang tidak kalah pentingnya untuk di gunakan memimpin umat yang di percayakan Allah kepada kita.




4.    KONDISI GEREJA PANTEKOSTA DI INDONESIA SEKARANG.

Tidak lagi dapat di pungkiri bahwa akibat dari terjadinya persoalan dan masalah seperti yang telah diuraikan di atas yaitu, diantaranya akibat tidak transparannya menejemen gereja serta keuangan dan juga sentralistik kepemimpinan yang tidak terbuka dan demokratis inilah penyumbang terbesar terjadinya persoalan perpecahan gereja dan hancurnya persatuan yang ada, yang juga menjadi harapan Rasul Paulus juga pada gereja mula-mula diantaranya di Kota Korintus yang menjadi sentra pelayanannya. Demikian halnya yang sedang di alami gereja yang memiliki dogtrin karismatik dan pantekosta, berdasar tulisan literatur yang telah di muat di Internet, dalam akun ‘Facebook’ yang mencoba menawarkan sebuah buku yang di tulis oleh pemimpin muda gereja Pantekosta, diberi judul “Kobarkan Lagi Api Pantekosta” di tulis oleh Pdt.James Pangau, buku ini mengungkapkan beberapa kenyataan-kenyataan yang terjadi pada khususnya gereja pantekosta di Indonesia (GPdI). [5] bahwa gereja  yang memiliki falsafah unik, yaitu ‘dimana ada BRI di situ ada GPdI ‘ artinya bahwa gereja lokal ini sangat tersebar dimana-mana bahkan sampai pelosok desa-desa terpencil sekali ada gereja ini, mungkin inilah yang menjadi kebanggaan sebagaian dari para pimpinan yang ada, sehingga pada kenyataan berdasar apa yang di tulis pada buku ini, oleh seorang gembala sidang gereja pantekosta di Indonesia, hal itu sendiri adalah sangat mencengankan, yaitu bahwa gereja dengan pola penginjilannya yang memakai metode hingar-bingarnya “KKR” yang di lakukan di gedung-gedung mewah, sampai pada lapangan-lapangan terbuka yang di hadiri ribuan dan bahkan jutaan umat, ternyata dalam hitungan, yang secara resmi di percaya oleh gereja-gereja di Indonesia adalah “Gereja Top Ten 2010”, GPdI berada di posisi ke-6 dengan jumlah anggota 900.000 jiwa, sedangkan GBI berada di posisi ke-4 dengan jumlah anggota 2.245.893 jiwa, benarkah telah terjadi exodus di GPdI? Mengapa Katolik yang melakukan "Silent Evangelism" menduduki posisi I dalam Gereja Top Ten dengan jumlah anggota 6 juta jiwa lebih.
Hal di atas adalah merupakan realita yang terjadi pada gereja kami, sehingga perlunya penataan kedalam yang harusnya terjadi perubahan yang tidak saja metode /cara dalam pencapaian target Goal atau juga sasaran program gereja lokal ke dalam, namun juga tidak kalah pentingnya adalah System yang menjadi pengaruh dan andil besar dalam organisasi gereja yang membawahi cara kerja gereja lokal tersebut. Perlunya perombakan secara dalam tidak juga hanya gereja lokal dan system saja, namun peran “SDM” atau sumber daya manusianya amat terlebih mumpuni pada bidangnya secara propesional dan telah maju.

5.    KESIMPULAN.

Dengan demikian kalau kita memahami tulisan yang coba telah kami uraikan di atas, kelemahan-kelemahan pada utamanya gereja yang berdasar atas dogtrin karismatik atau pantekosta adalah; lemahnya pola kepemimpinan yang telah mengakar dari awal gereja ini berkembang yaitu pola yang terpusat pada pucuk pimpinan (stiek holder) sehingga mempengaruhi cara kerja pendeta-pendeta dan diaken-diaken yang bekerja pada sinode gereja ini, yaitu denga cara kerja yang sertralistik / terpusat dan tidak demokratis yang terpimpin, hal ini mengakibatkan terhambatnya perkembangan kualitas dan kuwantitas gereja dan hanya bertahan pada posisi “staknasi” atau diam di tempat, kesempatan alih generasi pun akan tidak dapat berjalan, di karenakan harus tetap terpusat pada pimpinan yang itu-itu saja sampai puluhan Tahun, sampai menunggu Tuhan panggil baru dapat di gantikan.
Transparansi yang tidak dapat di tunjukan pada aliran gereja inipun juga memiliki andil yang tidak kecil dalam pengaturan aset gereja dan harta gereja, sehingga seringkali juga menjadi sumber persoalan yang tidak kalah rumit. Dalam segi kuangan dan aset gereja misalnya, terjadi ke ganjilan-keganjilan yang tidak terbuka dan dapat dipertanggung jawabkan, dengan dalih perintah Firman Allah yang mewajibkan Persepuluhan adalah milik Allah, mendesak umat Tuhan untuk menjalankan dengan sungguh-sungguh dan seakan ada interfesi tatkala tidak dilakukan umat, namun pengelolaan dari hasil persepuluhan yang di serahkan kepada gereja acapkali tidak di pertanggung jawabkan dengan terbuka dan dengan jujur penggunaannya. Inilah juga yang perlu di benahi dengan sejujur-jujurnya agar gereja mendapatkan kepercayaan dari umat dan Tuhan pasti memberkati gereja yang berlaku jujur. Menejerial yang jujur dan trasparan adalah modal utama yang paling besar yang harus dimiliki gereja di akhir zaman, sebab dengan tidak adanya kejujuran mana mungkin gereja dapat melaksanakan fungsinya menjalankan Amanat Agung Tuhan Kita Yesus Kristus. Marilah kita sebagai gereja Tuhan yang ada pada era akhir zaman ini berbenah diri atas kekurangan dan kelemahan di dalamnya, sehingga apabila Tuhan Yesus Kristus datang kembali ke dalam Dunia ini, kita di dapati oleh-Nya dalam Iman yang teguh dan kita layakmenjadi pewaris Kerajaan Surga Amin..!.


[1] Alkitab, Terjemahan Baru, Bahasa Indonesia, 2004.
[2] Karunia Djaja, Theopilus, Sejarah Gereja Pantekosta di Indonesia, Badan Literatur GPdI, Semarang, 1993, hal 13.
[3] Anggaran Dasar dan Rumah Tangga, Gereja Pantekosta di Indonesia, BAB IV Keanggotaan Gereja, Pasal 13 Ayat 1 Alinia c, Jakarta, Tahun 2000, hal 18.
[4] Ibid, Karunia Tdjaja, Theofilus, halaman 37.
[5] James Pangau, Literatur GPdI Cianjur, STT GPdI-Cianjur, 2011 hal utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar