POLA
KEPEMIMPINAN YANG SENTRALISTIK
DAN
MENEJEMEN YANG TERTUTUP
PADA
GEREJA MODERN
1. Latar
Belakang.
Entah siapa yang memulai dan mengesahkan, seakan-akan
telah mengakar dan menjadi suatu tradisi yang tidak dapat di elakan bahkan seakan
telah mendarah daging pada setiap gereja yang mewarisi situasi dan keadaan ini.
Entah itu suatu denominasi besar atau denominasi yang masih dalam tarap
perintisan, pokonya dalam lingkungan denominasi / aliran gereja tertentu ini
sangatlah kental dan melekat seakan-akan menjadikan kebiasaan yang sepertinya
diwarisi dan dilestarikan untuk terus dijalankan.
Semoga menjadi
bahan pemikiran dan perenungan dan bahkan menjadikan pergumulan dalam Doa, agar
kiranya para Hamba-hamba Tuhan yang notabene adalah golongan generasi muda pada
gereja-gereja tertentu ini, akan menyadari bahwa pelayanan pekerjaan Tuhan
Yesus Kristus yang ada di muka bumi ini bukanlah perusahaan yang sifatnya harus
di kelola oleh keluarga kerajaan yang sifatnya keturunan dan harus di teruskan
oleh keturunan berikutnya. Sehingga cara-cara yang “Sentralistik” yang kekuasaanya hanya terpusat kepada satu
keturunan dan juga dapat di kembangkan pola-pola ; Administrasi, Keuangan, dan
hal-hal yang lain kaitannya dengan urusan gereja dan diperdayakan secara
demokratis dan transparan terbuka dan jujur, demi kemajuan pekerjaan Tuhan
Yesus di dalam Dunia ini. Semoga harapan penulis akan perubahan dan pembaharuan
dari cara-cara lama yang condong dapat “Mengkultus
Individukan” seseorang akan dapat
diminimalis dan akan semakin terbuka akan kepemimpinan yang sentral, juga
adanya keterbukaan akan menejemen Administrasi, keuangan dan hal-hal lain denga
cara yang lebih terbuka dan jujur.
Dalam Firman Tuhan dikatakan dalam, Surat Roma 7:6b. .. sehingga kita sekarang melayani dalam keadaan baru menurut Roh dan bukan
dalam keadaan lama menurut huruf hukum Taurat.[1] Pada ayat
diatas telah dengan jelas pada kita bahwa pelayanan harus memiliki dasar yang
kuat dan benar, bahwa pola pelayanan baru tidak harus semuanya benar demikian
juga pola pelayanan yang lama belum tentu salah, namun bagaimana kita harus
dasari cara pelayanan yang sesuai Sabda Allah yang menjadi tolok ukur dalam
setiap pekerjaan Tuhan yang di berikan tanggung jawab pada setiap
Hamba-hamba-Nya.
2. POLA KEPEMIMPINAN
SENTRALISTIK.
Entah
dimulai dari Tahun berapa cara-cara
pemimpin gereja Pentakosta dengan menggunakan model kepemimpinan
sentral/terpusat pada satu figur pimpinan pusat atau gembala sidang jemaat. Hal
ini berkembang dimungkinkan karena adanya kondisi yang ada pada saat pertama
pekabaran Injil yang disampaikan oleh kedua keluarga yaitu Richard Van Klaveren dan Istri ; Cornelius E. Croesbeek dengan Istri
beserta 2 putrinya, Yennie dan Corri.[2] Kedua keluarga yang berkewarga negaraan
Belanda, namun berdomisili di Seatle Amerika ini merupakan utusan Injil dari
gereja Bethel Temple Meting di tepi Green Lake Seatle. Dikarenakan yang
menyampaikan misi adalah perseorangan dan bukan merupakan Badan Misi atau
organisasi Misi, maka perkembangan pelayanan ini cenderung mengidolakan figur pribadi
Penginjilnya secara pribadi, dan bahkan condong mengkultus individukan lebih
dari pada pahlawan-pahlawan iman yang tertulis dalam Alkitab. Inilah munkin
yang menjadi latar belakang terjadinya setralistik kepemimpinan pada
gereja-gereja Pentakosta dan Karismatik pada umumnya, dan masih terus di
pertahankan sampai sekarang ini. Bahkan mungkin telah menjadi suatu ketetapan
yang di ikuti oleh banyak gereja yang beraliran ini, apalagi dalam Anggaran
Dasar / Rumah Tangga GPdI pada BAB-IV (Keanggotaan Gereja) Pasal 13 Ayat 1 Alia c, menyatakan bahwa untuk menjadi anggota gereja pada salah
satu gereja Pantekosta di Indonesia adalah
“mereka yang mendaftar pada Gembala Sidang”.[3]
Inilah barangkali yang diterapkan oleh pemimpin-pemimpin gereja maupun majelis
gereja bahkan menjadi pemahaman umat pantekosta, yaitu menjadikan pemimpin
gereja lokal ataupun organisasi Sinode menjadi segala-galanya. Hal inilah merupakan kelemahan
yang kurang disadari oleh gereja kami, sehingga amat penting segera di benahi
dengan segera, agar tidak menjadi perkembangan gereja yang menganut dogtrin
pantekosta atau karismatik.
Marilah
kita sebagai pemimpin umat, semakin terbukan dan transparan dalam segala lini
pelayanan kita dan tidak tersentral dan condong otoriter dalam pola
kepemimpinan kita, sehingga pemimpin dapat dengan cepat mengetahui kelemahan
dan kekurangan model kepemimpinan kita, sehingga tercapai pola kepimpinan yang
demokratis, terbuka dan jujur, demi kemajuan pelayanan Pekerjaan Tuhan Yesus
Kristus di Dunia ini.
3. MENEJEMEN YANG TERTUTUP.
Sekali
lagi inilah gaya dan pengaruh kepemimpinan yang sentralistik, berdampak juga
pada pola menejemen yang tertutup, terutama pada hal-hal keuangan dan
administrasi terkait lainnya. Sehingga hal ini cukup besar andilnya
mempengaruhi terjadinya model menejemen yang carut-marut, bahkan terkesan tidak
tertangani secara profisional pada gereja yang menganut aliran pentakosta dan
karismatik terutama di Indonesia. Bahkan adanya kesenjangan kemampuan secara
“Finansial” pada gereja-gereja lokal tertentu sangatlah mencolok, bahkan
berakibat fatal terjadi persengketaan dan bahkan perpecahan akan sangat mungkin
terjadi, baik pada gereja tingkatan
lokal maupun dapat mengerucut sampai pada tataran pimpinan sinode gereja. Hal
ini nyata terjadi, perpecahan pada gereja kami GPdI yang terpecah menjadi
berbagai-bagai aliran baru. Demikian perkembangan aliran Pantekosta masuk pada
Negara Indonesia ini, terjadi pemisahan-pemisahan yang di mungkinkan akibat
pengaruh menejemen yang tidak terbuka atau transparan, sehingga kurun waktu
Tahun 1931 samapai Tahun 1966, aliran pantekosta ini terpecah-pecah menjadi
sekian aliran baru, diantaranya ; di awali dari Gereja Gerakan Pantekosta,
Gerakan Pantekosta Sumatra Utara, Gereja Isa Almasih (Pdt.Tan Hok Tjwan)
Th.1957, Gereja Bethel Injil Sepenuh (Pdt. F.G van Gessel) Th.1952, Gereja
Pantekosta Pusat Surabaya-GPPS (Pdt.Isak Lew) Th.1959, Gereja Pantekosta
Indonesia Sumatra Utara (Pdt.Karel Sianturi) Th.1966.[4]
Persoalan-persoalan yang timbul pada masalah perpecahan ini kebanyakan di
akibatkan tidak transparansi menejemen kepemimpinan dan keuangan gereja, hal
yang sama ini terus berlangsung bahkan sampai sekarang ini, sehingga tidak
kalah rumitnya untuk dapat di atasi, seperti yang terjadi saat pioner-pioner
gereja pantekosta ini memimpin. Mereka berpedoman bahwa kepemimpinan gereja
harus seutuhnya apa yang di katakan Alkitab, tidak boleh ada “campur tangan
cara-cara dunia”, entah apa yang di maksud dengan cara dunia’ mungkin adalah pola
menejerial atau metode kepemimpinan yang seutuhnya yang di tulis dalam Alkitab,
secara pribadi saya sebagai penulis makalah ini “Tidak setuju”, sebab Tuhan
memberi Firman-Nya, namun kita sebagai Hamba-hamba Tuhan dan Pemimpin Umat kita
juga diberikan Hikmat dan Karunia yang tidak kalah pentingnya untuk di gunakan
memimpin umat yang di percayakan Allah kepada kita.
4. KONDISI GEREJA PANTEKOSTA DI INDONESIA SEKARANG.
Tidak
lagi dapat di pungkiri bahwa akibat dari terjadinya persoalan dan masalah
seperti yang telah diuraikan di atas yaitu, diantaranya akibat tidak
transparannya menejemen gereja serta keuangan dan juga sentralistik
kepemimpinan yang tidak terbuka dan demokratis inilah penyumbang terbesar
terjadinya persoalan perpecahan gereja dan hancurnya persatuan yang ada, yang
juga menjadi harapan Rasul Paulus juga pada gereja mula-mula diantaranya di
Kota Korintus yang menjadi sentra pelayanannya. Demikian halnya yang sedang di
alami gereja yang memiliki dogtrin karismatik dan pantekosta, berdasar tulisan
literatur yang telah di muat di Internet, dalam akun ‘Facebook’ yang mencoba
menawarkan sebuah buku yang di tulis oleh pemimpin muda gereja Pantekosta,
diberi judul “Kobarkan Lagi Api
Pantekosta” di tulis oleh Pdt.James Pangau, buku ini mengungkapkan beberapa
kenyataan-kenyataan yang terjadi pada khususnya gereja pantekosta di Indonesia
(GPdI). [5]
bahwa gereja yang memiliki falsafah
unik, yaitu ‘dimana ada BRI di situ ada GPdI ‘ artinya bahwa gereja lokal ini
sangat tersebar dimana-mana bahkan sampai pelosok desa-desa terpencil sekali
ada gereja ini, mungkin inilah yang menjadi kebanggaan sebagaian dari para
pimpinan yang ada, sehingga pada kenyataan berdasar apa yang di tulis pada buku
ini, oleh seorang gembala sidang gereja pantekosta di Indonesia, hal itu
sendiri adalah sangat mencengankan, yaitu bahwa gereja dengan pola
penginjilannya yang memakai metode hingar-bingarnya “KKR” yang di lakukan di
gedung-gedung mewah, sampai pada lapangan-lapangan terbuka yang di hadiri
ribuan dan bahkan jutaan umat, ternyata dalam hitungan, yang secara resmi di
percaya oleh gereja-gereja di Indonesia adalah “Gereja Top Ten 2010”, GPdI berada di posisi ke-6 dengan jumlah anggota
900.000 jiwa, sedangkan GBI berada di posisi ke-4 dengan jumlah anggota
2.245.893 jiwa, benarkah telah terjadi exodus di GPdI? Mengapa Katolik yang
melakukan "Silent Evangelism" menduduki posisi I dalam Gereja Top Ten
dengan jumlah anggota 6 juta jiwa lebih.
Hal
di atas adalah merupakan realita yang terjadi pada gereja kami, sehingga
perlunya penataan kedalam yang harusnya terjadi perubahan yang tidak saja
metode /cara dalam pencapaian target Goal atau juga sasaran program gereja
lokal ke dalam, namun juga tidak kalah pentingnya adalah System yang menjadi
pengaruh dan andil besar dalam organisasi gereja yang membawahi cara kerja
gereja lokal tersebut. Perlunya perombakan secara dalam tidak juga hanya gereja
lokal dan system saja, namun peran “SDM” atau sumber daya manusianya amat
terlebih mumpuni pada bidangnya secara propesional dan telah maju.
5. KESIMPULAN.
Dengan
demikian kalau kita memahami tulisan yang coba telah kami uraikan di atas,
kelemahan-kelemahan pada utamanya gereja yang berdasar atas dogtrin karismatik
atau pantekosta adalah; lemahnya pola kepemimpinan yang telah mengakar dari
awal gereja ini berkembang yaitu pola yang terpusat pada pucuk pimpinan (stiek
holder) sehingga mempengaruhi cara kerja pendeta-pendeta dan diaken-diaken yang
bekerja pada sinode gereja ini, yaitu denga cara kerja yang sertralistik /
terpusat dan tidak demokratis yang terpimpin, hal ini mengakibatkan
terhambatnya perkembangan kualitas dan kuwantitas gereja dan hanya bertahan
pada posisi “staknasi” atau diam di tempat, kesempatan alih generasi pun akan
tidak dapat berjalan, di karenakan harus tetap terpusat pada pimpinan yang
itu-itu saja sampai puluhan Tahun, sampai menunggu Tuhan panggil baru dapat di
gantikan.
Transparansi
yang tidak dapat di tunjukan pada aliran gereja inipun juga memiliki andil yang
tidak kecil dalam pengaturan aset gereja dan harta gereja, sehingga seringkali
juga menjadi sumber persoalan yang tidak kalah rumit. Dalam segi kuangan dan
aset gereja misalnya, terjadi ke ganjilan-keganjilan yang tidak terbuka dan
dapat dipertanggung jawabkan, dengan dalih perintah Firman Allah yang
mewajibkan Persepuluhan adalah milik Allah, mendesak umat Tuhan untuk
menjalankan dengan sungguh-sungguh dan seakan ada interfesi tatkala tidak
dilakukan umat, namun pengelolaan dari hasil persepuluhan yang di serahkan
kepada gereja acapkali tidak di pertanggung jawabkan dengan terbuka dan dengan
jujur penggunaannya. Inilah juga yang perlu di benahi dengan sejujur-jujurnya
agar gereja mendapatkan kepercayaan dari umat dan Tuhan pasti memberkati gereja
yang berlaku jujur. Menejerial yang jujur dan trasparan adalah modal utama yang
paling besar yang harus dimiliki gereja di akhir zaman, sebab dengan tidak
adanya kejujuran mana mungkin gereja dapat melaksanakan fungsinya menjalankan
Amanat Agung Tuhan Kita Yesus Kristus. Marilah kita sebagai gereja Tuhan yang
ada pada era akhir zaman ini berbenah diri atas kekurangan dan kelemahan di
dalamnya, sehingga apabila Tuhan Yesus Kristus datang kembali ke dalam Dunia
ini, kita di dapati oleh-Nya dalam Iman yang teguh dan kita layakmenjadi
pewaris Kerajaan Surga Amin..!.
[1]
Alkitab, Terjemahan Baru, Bahasa Indonesia, 2004.
[2]
Karunia Djaja, Theopilus, Sejarah Gereja Pantekosta di Indonesia, Badan
Literatur GPdI, Semarang, 1993, hal 13.
[3]
Anggaran Dasar dan Rumah Tangga, Gereja Pantekosta di Indonesia, BAB IV
Keanggotaan Gereja, Pasal 13 Ayat 1 Alinia c, Jakarta, Tahun 2000, hal 18.
[4]
Ibid, Karunia Tdjaja, Theofilus, halaman 37.
[5]
James Pangau, Literatur GPdI Cianjur, STT GPdI-Cianjur, 2011 hal utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar